Brosur Ahadpagi

Dermawan

Islam adalah agama yang menegakkan pengorbanan dan infaq, menghilangkan kebakhilan dan kekikiran. Untuk itu, maka Islam senantiasa memberi dorongan pemeluknya untuk menjadi orang-orang berjiwa pemurah dan beringan tangan. Juga diserukan bergegas memenuhi panggilan kebajikan dan semua bentuk kebaikan. Hendaknya aktivitas kontinuetasnya adalah mendahulukan kepentingan orang lain, baik di pagi hari maupun di sore hari. Sebagaimana firman Allah :

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” ( Al Baqoroh : 274)

Satu hal yang perlu diingat, bahwa seorang muslim harus sederhana dalam memenuhi tuntutan dirinya, sehingga hartanya itu tidak dihabiskan seluruhnya untuk bermewah-mewah, sebab dia harus bersekutu dengan orang lain dalam mempergunakan harta yang diberikan Allah kepadanya itu, dan kekayaannya itu haruslah dipergunakan utk membantu orang-orang yang susah dan buat meringankan beban penderitaan orang lain.

Rasulullah bersabda :

Hai anak cucu Adam! Bahwa engkau berikan kelebihan hartamu itu (kepada orang lain), adalah lebih baik bagimu; dan jika engkau simpannya, maka itu adalah jelek bagimu. Jangan engkau abaikan orang yang membutuhkanmu itu. Dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu. (Ketahuilah), bahwa tangan yang diatas (suka memebri) itu lebih baik daripada tangan di bawah (yang suka minta) ( H.R. Muslim).

Pengertian ini diisyaratkan Al Qur’an dalam larangannya terhadap pemborosan yang sekaligus diikuti dengan perintah infaq kepada kerabat dan fakir miskin, dengan suatu alasan bahwa pemborosan itu pertanda ketololan, dimana tumpukan hartanya itu dipergunakan untuk memenuhi seleranya sendiri, sehingga tidak ada yang tersisa untuk memenuhi hak-hak yang wajib dan pertolongan yang diharuskan itu, allah berfirman :

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.(26) Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.(27). (Al Isra’ : 26 – 27)

Sesudah konteks wasiat untuk menyantuni orang-orang terlantar dan memperhatikan kebutuhan mereka, Al Qur’an juga memerintahkan kepada seorang muslim untuk memberi arahan yang baik kepada mereka. Dan kalau ternyata dia tidak berkenan memberikan uluran karena memang keadaannya yang tidak memungkinkan, maka iapun harus menjawabnya dengan kata yang lemah lembut :

“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, Maka Katakanlah kepada mereka Ucapan yang pantas” (Al Isra’ : 28 )

Seruan Islam untuk berderma dan infaq itu sangat banyak dan luas, sedang pemberantasannya terhadap kekikiran dan kebakhilan itu disertai ancaman api yang menyala-nyala, sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits rasulullah SAW :

Dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga dan jauh dari neraka. Sedang orang yang kikir itu jauh dari allah, jauh dari manusia, jauh dari surga dan dekat dengan neraka. Sungguh seorang yang bodoh tetapi pemurah adalah lebih dicintai Allah daripada orang ahli ibadah yang kikir” (HR. Tirmidzi)

Di dunia ini tidak terdapat dan tidak mungkin terdapat satu pun aturan tentang ta’awun (saling tunjang menunjang/tolong menolong) dan musawah (persamaan) guna mewujudkan kehidupan sakinah (ketentraman) dan terjalinnya sa’adah (kebahagiaan), selain si kuat harus berbelas kasih kepada si lemah, dan si kaya menyantuni si miskin, karena watak masyarakat itu selamanya akan selalu berdampingan antara kuat dan lemah, kaya dan miskin!

Seandainya harta yang bertumpuk-tumpuk itu harus mengikuti selera manusia, niscara akan ada sebagian orang yang hidup bermewah-mewah sementara yang lain hidup dengan serba kekurangan. Sistem seperti itu jelas tidak efektif, yang pada gilirannya akan membawa kehancuran manusia itu sendiri. Dimana mereka hidup dengan terbata-bata, hidup yang hanya mengenal diri sendiri. Padahal realita Allah menjadikan umat manusia itu serba majmu’ (komplek), yang dengan kompleksitasnya dengan segala macam keragamannya itu dijadikan sebagai batu ujian yang berat guna memurnikan iman dan membagi-bagi tingkatan. Firman Allah :

“Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha melihat”. (Al Furqon : 20)

Suatu bangsa tidak akan sukses dalam arena ini, melainkan apabila antar putera bangsa itu ada hubungan yang kuat, sehingga tidak ada anggotanya yang terlantar karena menderita kelaparan, dan tidak ada pula si kaya yang ongkang-ongkang di bawah timbunan harta.

Dalam Islam terdapat undang-undang yang bijak sekali guna mencapai targetnya ini, diantaranya ialah dengan cara menumbuhkan perasaan untuk gemar melakukan kebajikan, suka memberikan pertolongan dan menciptakan semua bentuk kebajikan, yang buahnya tidak hanya dirasakan oleh si lemah saja, bahkan orang-orang yang dermawan itupun dapat merasakan ketentraman dan keamanan, sehingga tidak akan terjadi apa yang disebut “gejolak sosial”, karena dendamnya orang-orang miskin dan kebutaan orang-orang kaya. Allah berfirman :

“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini”. ( Muhammad : 38)

Kemiskinan itu adalah suatu penyakit, yang apabila menimpa seseorang pasti akan menyedihkan dan akan menurunkan martabat manusia, bahkan hampir-hampir akan menghilangkan kehormatan diri yang justru oleh Allah dijadikan manusia itu makhluk terhormat, melebihi makhluk-makhluk lainnya.

Sungguh hati anda akan tersayat kalau anda menyaksikan adegan seorang yang berpakaian compang-camping, yang hampir saja tampak auratnya, kakinya tidak beralas, kuku-kukunya tidak terawat. Dia kelaparan, matanya melongok ke barbagai macam makanan, tetapi setelah dia menengadah tangan, iapun ditolak dengan tangan hampa dan … dan …

Orang-orang yang menyaksiakn adegan ini tetapi hatinya tidak tergerak, tidak layak mereka itu disebut manusia dan tidak pula sebagai mukmin. Antara manusia itu seluruhnya ada hubungan kekeluargaan yang cenderung untuk disambung dan jangan sampai dapat dipisahkan oleh kelaparan. Maka sebagai bukti iman seseorang kepada Allah, ialah ia harus merasa takut kepada Tuhannya dalam menghadapi manusia-manusia terlantar seperti ini.

Adegan seperti ini pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW mengumpulkan sahabatnya dan berkhutbah. Dalam khutbahnya itu diingatkan akan hak manusia atas manusia lainnya dan diultimatum dengan siksaan Allah di hari akhir nanti. Khutbahnya itu diulang-ulang, hingga akhirnya mereka dapat menghimpun kelebihan hartanya untuk membantu si miskin itu. Kata Jabir, ceritanya begini :

Pada suatu hari, disiang hari, kami berada di tempat Nabi SAW., tiba-tiba ada satu kaum dengan berpakaian compang-camping. Mereka itu diduga dari suku Mudhar. Melihat keadaan seperti itu, wajah Rasulullah merah padam, lalu beliau masuk rumah, kemudian keluar lagi. Kemudian menyuruh Bilal untuk adzan dan terus iqomat. Seusai sholat, kemudian beliau berkhutbah, dengan membawa ayat : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (An-Nisa’ : 1). “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). (Al Hasyr : 18)

Setelah membaca kedua ayat itu, Rasulullah SAW, kemudian memerintahkan kepada para sahabatnya, hendaknya setiap orang berkenan menginfaqkan hartanya, baik berupa dinar, dirham, pakaian, gandum ataupun kurmanya, sampai pun barangkalai “walau bisyiqqi tamratin” (sekalipun hanya mampu dengan sesobek belahan kurma).

Mendengar khutbah Rasulullah SAW yang berapi-api itu, salah seorang Anshar tampil dengan membawa pundi-pundi tempat tabungan uangnya yang hampir saja dia tidak kuat mengangkatnya karena beratnya, yang kemudian diikuti oleh oang-orang lain, sehingga seluruhnya terkumpul menjadi dua unggukan besar, berupa makanan dan pakain.

Melihat spontanitas para sahabatnya itu, wajah Rasulullah SAW kini tampak berseri-seri, seraya bersabda yang artinya :” Barangsiapa mengadakan cara baru yang baik dalam Islam, maka dia akan mendapat pahalanya ditambah dengan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa dikurangi sedikitpun dari pahalanya itu. Dan barang siapa membuat cara baru yang tidak baik dalam Islam, maka dia mendapatkan dosanya ditambah dengan dosa-dosa yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka itu” (HR. Muslim).

Kalimat-kalimat tajam itu adalah meruakan seruan untuk berlomba dalam kebajikan dan membukakan usaha-usaha baru yang bermanfaat, misalnya berupa kendaraan gratis, bantuan untuk musim dingin, dan sebagainya. Dan juga suatu ultimatum terhadap orang-orang yang nmembuat tradisi yang menjijikkan yang dapat mengikat gerak masyarakat di satu segi, sedang di segi lain membiarkan orang bergelandangan dengan keadaan menyedihkan.

(brosur 24 Januari 1993)

IHSAN

Arti Ihsan

Ihsan menurut bahasa artinya, mengokohkan, memperbagus dan juga berbuat baik terhadap orang lain.

Islam menganjurkan Ihsan

Islam sangat mendorong agar kaum muslimin suka berbuat ihsan, karena ihsan adalah sarana yang paling berfaedah bagi keutamaan dan keluhuran budi serta menanam benih-benihnya ke dalam jiwa, disamping secara fitri manusia dalam kehidupannya diperlukan adanya saling berbuat ihsan satu terhadap yang lain. Oleh karena itu Almuhsinun (orang-orang yang muhsin) dalam pandangan Allah adalah sebagai kekasih-kekasih-Nya.

Allah SWT berfirman, yang artinya : “ … dan berbuat ihsanlah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan” (Al Baqoroh : 195).

Bagaimanapun hubungan seorang ihsan dengan Tuhannya, tanpa disertai ihsan, maka hubungannya itu tetap dalam keadaan goyah.

Allah berfirman yang artinya : “dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang Dia orang yang berbuat ihsan, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh”. (Luqman : 22)

Anjuran berbuat ihsan meliputi pelbagai hal Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah mengharuskan berbuat ihsan dalam pelbagai hal, oleh karena itu, apabila kamu membunuh maka berbuatlah ihsan dalam melakukannya, dan apabila kamu menyembelih maka berbuatlah ihsan dalam melakukannya, dan tajamkanlah pisaunya serta lakukanlah dengan baik”(HR. Muslim)

Anjuran berbuat ihsan itu antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut :

1. Bebuat ihsan terhadap orang yang bersalah.

Allah SWT berfirman yang artinya : “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih ihsan, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”.(Fushilat : 34)

2. Berbuat ihsan terhadap kedua orang tua, jiran, teman, fuqara’, pembantu, yang dalam anjurannya ini secara berurutan setelah perintah beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman yang artinya :”sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat ihsanlah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu”. (An Nisa’ : 36)

3. Berbuat ihsan dalam berbicara

Allah SWT berfirman yang artinya “dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang lebih ihsan (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”.(Al Isra’ : 53)

4. Ihsan dalam ibadah

Ketika Jibril datang mengajar Nabi Muhamamd SAW, setelah menanyakan tentang iman dan islam, kemudian menanyakan tentang ihsan. “Jibril bertanya, beritahukanlah kepadaku hai Muhammad, apakah arti ihsan itu? Nabi SW menjawab : Ihsan yaitu, engkau beribadah kepada Allah, yang seolah-olah engkau melihat-Nya, kemudian jika engkau tidak dapat berbuat demikian, maka ketahuilah bahwa Ia (Allah) melihatmu” (HR. Muslim)

Ibnu Rajab dalam kitabnya, JAMI’UL ULUM WAL HIKAM, dalam menjelaskan makna hadits ini antara lain menerangkan arti ihsan (dalam ibadah) sebagai berikut : “Ihsan yaitu, seorang mu’min beriman kepada Allah dengan mengahdirkan jiwanya (ke hadirat-Nya) dan merasa diri dalam pengawasan-Nya, sehingga dalam ibadahnya itu ia seolah-olah melihat dan mengetahui-Nya” (Ibnu Rajab, JAMI’UL ULUM WAL HIKAM, hal 31)

Dari beberapa ayat dan hadits tentang ihsan ini dapatlah disimpulkan sebagi berikut :

Bahwa iman dan islam tidaklah ada artinya tanpa disertai amal, sedang amal yang disertai ihsan akan menjadi sempurna dan kokoh, sebab dengan ihsan, amal bukan hanya sekedar memenuhi syarat rukunnya saja, tetapi lebih jauh dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, dan khususnya dalam ibadah, dilaksanakan dengan penghayatan, mendalami makna ibadah itu sendiri serta menghadirkan jiwa ke hadlirat-Nya dan merasa diri dalam pengawasan-Nya.

Bahwa dengan kata lain dapatlah ditegaskan, bahwa Islam mengajarkan, menganjurkan atau memerintahkan sesuatu tidaklah hanya menuntut asal dilaksanakan saja, tetapi lebih jauh Islam menuntut pelaksanakan yang sebaik-baiknya, yang ihsan, dengan ikut sertanya jiwa bersama raga.

(Brosur : 29 Nopember 1992)

 

 

JALAN MENUJU KETENTRAMAN HIDUP

 “Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata : Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, apakah (jalan menuju) keselamatan itu? Rasulullah menjawab : “Kuasailah lidahmu, hendaklah rumahmu itu meluaskanmu dan tangisilah kesalahanmu (HR. Tirmidzi Al Ahwadzi 7 : 87 dan Ahmad) Tirmidzi berkata : hadits ini berderajat hasan

Penjelasan :

Najad      :  masdhdar dari najaa, yanjuu, najaa-an, najaatan : selamat, beruntung, terlepas dari marabahaya

Amlik      :  kuasailah. Dalam riwayat Ahmad dipakai kata “Amsik” : Tahanlah. Maksudnya : jangan mudah mengatakan sesuatu sebelum dipikir dan tanpa dipertimbangkan akibat baik dan buruknya, untung dan ruginya.

Ibki         : nangislah. Maksudnya : sesalilah

Khati’ah  : Kesalahan, dosa

Penjelasan kata :

Selamat dari segala malapetaka, dari gangguan orang-orang jahat dan terutama dari adzab Allah, adalah menjadi idaman setiap mukmin. Yang penting sekarang ialah, jalan apa yang harus ditempuh supaya idamannya itu tercapai. Disinilah letaknya, hingga sahabat “uqbah bin ‘Amir merasa perlu menanyakan kepada Rasulullah SAW. Yang selanjutnya oleh Rasulullah SAW dijawab, ada tiga hal yang harus secara aktif diperhatikan dan dilaksakan, yaitu :

1. Menguasai lidah

2. Rumah yang luas

3. Menangisi kesalahan

 

1.   Menguasai lidah

Lidah adalah salah satu anggota badan manusia yang vital sebagai alat komunikasi antar sesamanya. Sebagai alat komunikasi, kadang-kadang bisa dipergunakan untuk hal-hal yang baik dan kadang-kadang bisa juga untuk hal-hal yang tidak baik. Bahkan seringkali kehancuran ditengah-tengah masyarakat, adalah diakibatkan oleh lidah. Perang dan damai adalah juga atas peran lidah.

Oleh karena itu lidah ini harus dijaga baik-baik, jangan mudah dipergunakan, kecuali dalam hal-hal yang baik dan manfaat. Untuk itu pikirkanlah lebih dahulu dengan mempertimbangkan akibat yang mungkin bakal terjadi, sebelum lidah digerakkan, supaya tidak tergelincir dan hidup ini bisa selamat.

Banyak sekali kita temui ayat-ayat Al Qur’an dan hadits Rasulullah yang membicarakan soal lidah ini, sampai-sampai Mua’adz bin Jabal terpaksa harus bertanya kepada Rasulullah SAW. : Apakah kami ini akan dihukum lantaran berkata-kata? Kemudian Rasulullah SAW menjawab :

Tidaklah wajah atau tengkuk manusia itu ditelungkupkan ke neraka, melainkan karena buah dari lidahnya” (Hadits)

Lidah berperan begitu besar, sehingga ia juga akan merupakan ukuran iman, seperti diterangkan oleh Rasulullah SAW :

Iman seseorang tidak akan lurus, sehingga hatinya lurus, sedang hati tidak akan lurus hingga lidahnya lurus” ( HR. Ahmad)

Lidah yang lurus itu, disebut juga lidah yang benar (lisan shidiq) lidah para Nabi dan orang-orang shaleh. Seorang penyair mengatakan :

“awas lidahmu, hai manusia

ia adalah ular, awas engkau disengat

berapa banyak kubur manusia yang terbunuh karena lidahnya

pasukan berkuda sendiri takut bertemu lidah.

 

2.   Rumah yang luas

Rumah termasuk kebutuhan pokok manusia, sebagai tempat berteduh, tempat istirahat dan tempat bersenag-senang dengan keluarga. Karena itu diperlukan rumah yang luas. Namun semata-mata luasnya rumah, belum bisa menjamin keselamatan manusia, kalau rumah yang luas itu justru dihuni manusia-manusia yang tidak bermoral dan tidak bisa mengatur perkakas rumah.

Karena itu, ketika mensyarah hadits tersebut Syeh Al Mabar Kafuri dalam syarah Tirmidzi mengatakan, dianjurkan membuat rumah yang luas, karena fungsi rumah yang sebenarnya untuk kesibukan bekerja dengan mengaharap riha Allah, bersenang-senang dengan mentaati hukum-hukum Allah serta tempat melaksanakan sesuatu keperluan yang tidak pantas dilihat orang (Tuhfatul Ahmadzi 7 : 87)

Sementara Al Qur’an mengatakan, bahwa rumah adalah sebagai tempat tinggal yang damai (sakanan) dan melindungi diri dari dingin dan terik matahari.

dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)” (S. An-Nahl : 80)

Disitu Allah menyebutkan tempat tinggal dengan kata “sakanan”, yang arti leterleknya adalah “tenang”. Maka rumah sebagai tempat tinggal itu hendaknya merupakan tempat tinggal yang tenang. Rumah yang sedemikian itu akan terwujud manakala para penghuninya taat dan bertaqwa kepada Allah.

 

3.   Menangisi Kesalahan

Berbuat suatu kesalahan adalah sudah menjadi ciri khas manusia. Karena itu tidak ada manusia yang tidak berbuat salah kecuali Nabi SAW. Yang memang dijaga selalu oleh Allah (ma’shum). Dalam pengertian setiap kali cenderung hendak berbuat salah segera diperingatkan dan Nabi itu sendiri sadar serta sam’an watha’atan, atas peringatan itu.

Karena itu pula, kalau ada seorang Nabi ditegur dengan keras oleh Allah atas sesuatu sikapnya, maka hal itu bukan karena Nabi tersebut salah, tetapi teguran itu adalah merupakan hukum peringatan buat umat-umatnya yang sekaligus merupakan hukum yang harus diterangkan kepada umatnya. Sebab pada umumnya teguran atas sesuatu perbuatan Nabi itu terjadi sebelum ada hukum (wahyu yang melarangnya), sebab sesuatu perbuatan baru dianggap salah kalau sebelumnya sudah ada hukum yang mengatur. Misalnya Nabi Muhammad SAW, ditegur oleh Allah karena berpaling ketika Ibnu Ummi Maktum yang buta itu datang kepadanya, sedang ketika itu Rasulullah tengah mengadakan pembicaraan serius dengan tamunya. Beliau juga pernah ditegur ketika beliau bersumpah tidak mau minum madu, karena ‘Aisyah dan Hafshah cemburu. Kedua macam teguran itu selanjutnya menjadi hukum

Di dalam Al Qur’an sendiri Allah sudah mengisyaratkan akan kemungkinannya manusia berbuat salah (Sy Syams : 8) “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” Kendatipun jalan yang lurus itu sudah dibentang dihadapannya, namun ada pula kecenderungan manusia untuk berjalan di luar jalur yang telah diatur itu :”Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (Al Insan : 3)

Namun, apakah kalau dia sudah terlanjut berbuat salah, lalu dibiarkan larut dalam kancah kenistaan itu? Karena dia sudah terlanjur lewat jalur yang salah itu, lalu dibiarkan terus melaju?

Tidak! Jangan sampai ia terus larut dan melaju, karena jika terus akan berakibat tidak baik, buat dirinya sendiri maupun buat orang lain. Nila setitik dapat merusak susu sebelanga. Bunga api yang sekecil itu dapat membakar gedung yang besar dan megah. Dan begitulah seluruh malapetaka di persada ini, adalah sebagai akibat oleh segelintir manusia : “Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”  (Asy Syuaara : 30)

Sebelum semuanya itu terjadi, maka segeralah berhenti dari berbuat salah dan menyesali atas kesalahan-kesalahannya itu Itulah tanda seorang mukmin yang baik, dan itulah jalan menuju keselamatan. Rasulullah bersabda :

Jika kebaikanmu itu menggembirakanmu dan kesalahanmu itu menyedihkanmu, maka engkau adalah seorang mukmin. Lalu beliaupun ditanya lagi, apakah (ciri/jalan) dosa itu? Jawab beliau : Jika ada sesuatu (pikiran yang kurang baik) dalam hatimu, maka tinggalkanlah ia” (HR. Ahmad)

Mafhumnya, berat untuk disebut sebagai seorang mukmin, berat untuk bisa mencapai keselamatan, kalau seseorang itu gemar berbuat salah tanpa merasa kikuk dan menyesal. Berat pula dia akan bisa berhenti dari kesalahan, kalau setiap gerakan hati itu diperturutkan. Wallahu a’lam.

                                                                                                 Brosur : Ahad, 7 Pebruari 1993.

Tinggalkan komentar